Pemerintah daerah dan otoritas keagrariaan (Agraria dan Tata Ruang) /
Badan Pertanahan Negara (BPN) di Sulawesi Tengah, diingatkan untuk mulai
mewaspadai potensi konflik sosial dan hukum keperdataan di masa rekonstruksi
pasca-bencana di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Sigi.
Setelah
masa Tanggap Darurat dan transisi ke pemulihan pasca-gempa, otoritas agraria
dan aparat pemerintah bidang pertanahan, akan muncul masalah baru di bidang
hukum dan hak kepemilikan lahan.
“Meski ini hanya masalah administrasi hukum, jika pemerintah tak tanggap maka ini berpotensi jadi masalah sosial,” kata pakar hukum Tata Negara dan sosial UIN Alauddin Makassar Dr Syamsuddin ‘Olleng’ Radjab SH, MH, saat dimintai tanggapan terkait dampak gempa dan likuefaksi tanah di kawasan Palu Barat, Petobo, Belaroa, dan Biromaru, Sigi, Senin (8/10/2018).
Olleng yang awal 2000-an menjadi Tim Advokasi Konflik Sosial di Poso, Sulawesi Tengah, ini melihat, potensi itu bisa muncul karena pemerintah tak tanggap dengan masalah administrasi hukum.
“Meski ini hanya masalah administrasi hukum, jika pemerintah tak tanggap maka ini berpotensi jadi masalah sosial,” kata pakar hukum Tata Negara dan sosial UIN Alauddin Makassar Dr Syamsuddin ‘Olleng’ Radjab SH, MH, saat dimintai tanggapan terkait dampak gempa dan likuefaksi tanah di kawasan Palu Barat, Petobo, Belaroa, dan Biromaru, Sigi, Senin (8/10/2018).
Olleng yang awal 2000-an menjadi Tim Advokasi Konflik Sosial di Poso, Sulawesi Tengah, ini melihat, potensi itu bisa muncul karena pemerintah tak tanggap dengan masalah administrasi hukum.
“Bergesernya
tanah pemukiman warga di Petobo dari batas-batas administrasi tanah,
pasca-likuefaksi, ini akan jadi masalah hukum kepemilikan, jika pendataan
jumlah korban, batas hak tanah tidak dilakukan pasca-masa pemulihan,” kata
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI,
2007-2010) ini.
Dia menyarankan, di masa transisi pemulihan menuju masa rekonstruksi yang diperkirakan akan dimulai awal tahun 2019, instansi dan aparatur pemerintah mulai aktif mendata identitas korban, baik yang meninggal dunia, hilang, atau masih di pengungsian.
Dokumen
dari hasil pendataan inilah yang akan disinkronisasi dengan dokumen kepemilikan
lahan baik secara individu, yayasan, maupun badan hukum atau usaha.
“Bayangkan
kalau pemilik lahan itu meninggal semua. Dokumen dan identitasnya semua
terkubur, sementara secara faktual batas-batas lahan sudah bergeser karena
gempa dan likuefaksi,” ujarnya.
Secara
teknis, doktor ilmu hukum dari Universitas Padjajaran Bandung ini, meminta
pemerintah segara membuka posko pengaduan khusus.
“Masalah yang sekarang ini hanya deratan angka jumlah korban. Ini kuantitas. Bukan identitas, tapi di posko inilah nanti didata identitas, anggota keluarga, tahun lahir, dicocokkan dengan data kependudukan dan dokumen hukum lainnya,”
Menurut
BNPB, korban jiwa paling banyak ditemukan di Kota Palu. Hal itu disebabkan
gempa dan tsunami yang terjadi di kota tersebut. Hingga saat ini, diperkirakan
masih banyak korban yang tertimbun dan belum diketahui keadaannya.
Jumlah
korban jiwa akibat gempa dan tsunami mencapai 1.763 orang, pada Minggu
(7/10/2018) malam. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.519 jenazah ditemukan di
Palu. Sementara, sebanyak 159 jenazah ditemukan di Donggala. Di Sigi, ditemukan
69 korban tewas; 15 jenazah di Parigi, dan 1 jenazah ditemukan di Pasangkayu.
Pendapat:
Menurut saya sebaiknya nantinya pemerintah dapat bersikap adil dalam mengambil
keputusan dan melakukan pendataan korban gempa dalam kepemilikan lahan agar ke
depannya tidak menimbulkan masalah atau konflik yang tidak diinginkan.
0 komentar:
Posting Komentar